Gangguan Jiwa Mengintai Keluarga Korban Bencana Tsunami Selat Sunda
Suara.com - Kehilangan anggota keluarga dan orang terdekat di bencana tsunami Selat Sunda berdampak pada meningkatnya risiko gangguan jiwa orang yang ditinggalkan.
Perasaan kehilangan karena ditinggal anggota keluarga memang bukan hal mudah untuk dihadapi. Bahkan tak sedikit orang yang membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya untuk pulih dari kesedihan.
Disampaikan dr Eka Viora, SpKJ, selaku Ketua Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa, orang yang mengalami kehilangan akan timbul rasa sedih berlebihan. Mereka akan mengalami kecemasan, kaget, shock, tidak percaya dan gelisah. Jika tak cepat diatasi, maka perasaan berkabung ini bisa mengarah ke gangguan jiwa ringgan hingga sedang.
"10-20 persen perasaan kehilangan bisa menjadi gangguan jiwa ringan hingga sedang dan membutuhkan peran psikiater," ujar dia beberapa waktu lalu.
Agar tak berlanjut menjadi gangguan jiwa, Eka mengatakan, dibutuhkan dukungan dari keluarga dan orang terdekat untuk memberikan penguatan. Dalam kasus korban tsunami Selat Sunda yang harus kehilangan anggota keluarganya misalnya, dibutuhkan dukungan psikososial dari psikiater, psikolog atau relawan untuk bisa bangkit dari kesedihan.
"Kalau ada korban tsunami mengalami kehilangan, biarkan dia menangis, berteriak, atau menyalahkan keadaan. Dengarkan dia, karena wajar sekali orang yang kehilangan mengalami hal demikian. Baru lakukan pendekatan setelahnya," tambah dia.
Pendekatan ini, lanjut Eka, dikenal dengan istilah Psychological First Aid (PFA), atau pertolongan pertama pada orang-orang yang mengalami masalah psikogis. Keluarga, orang terdekat atau bahkan tenaga medis dan relawan harus menghindari beberapa hal untuk membantu memulihkan kondisi seseorang yang mengalami kehilangan.
"Jangan menghakimi mereka, jangan mengasihani, jangan interupsi jika mereka menumpahkan keluh kesahnya. Dan yang terpenting, jangan labeli mereka dengan stigma tertentu," ujarnya lagi.
Dengan melakukan pertolongan pertama tersebut, orang yang mengalami kehilangan atau trauma bisa pulih dengan sendirinya tanpa memerlukan intervensi dari tenaga medis. Namun, tentu saja butuh waktu tertentu hingga individu tersebut menerima kondisinya secara bertahap.
"Oleh karena itu di situasi bencana kita persiapkan tim. Kita berikan dukungan psikologi tidak hanya oleh profesi spesialis jiwa tapi juga psikolog klinis, relawan, perawat. Berikan intervensi dan guidance yang sama sehingga diberikan secara tepat," tandas dia.
Baca Kelanjutan Gangguan Jiwa Mengintai Keluarga Korban Bencana Tsunami Selat Sunda : http://bit.ly/2QPI4vi
0 komentar:
Posting Komentar